Sabtu 23 Mei 2009, seperti biasa aku bersiap-siap pergi ke kampus. Seharusnya weekend bareng teman-teman, tapi nggak bisa karena hari Sabtu aku memang punya dua mata kuliah melengkapi tiga mata kuliah lainnya pada semester ini. Pukul 10 pagi aku sudah mulai bersiap-siap dengan menyiapkan baju yang akan aku kenakan yang sengaja aku sesuaikan warnanya dengan jilbab dan semua aksesoris yang aku pakai. Itu memang hobiku aku suka sekali memadu padankan semua yang aku pakai agar terlihat serasi dan sedap di pandang.
“He...he....walaupun tidak semua orang sama seleranya dengan diriku.”
Kemudian aku menyetrika jilbab yang telah aku tentukan untuk di pakai karena semua jilbab yang ada di lemariku memang belum di setrika hanya di lipat saja setelah di angkat dari jemuran. Aku kerepotan jika harus memakai jilbab yang ada bekas lipatan setrikaannya, oleh sebab itu aku menyetrika jilbab sebelum mengenakannya agar bisa langsung di pakai tanpa harus dilipat sebelumnya.
Pukul 11.30 WIB aku telah siap berangkat, kunaiki becak dayung dari gang rumahku menuju jalan besar, ini salah satu penderitaanku selama berada di kota Medan ini. Rumah yang aku tempati jauh masuk gang dari jalan raya tempat biasa aku menunggu angkot menuju kampus. Yach...tapi mau gimana lagi sudah diamanahkan sama orang tua harus tinggal disitu ya sudahlah aku terima saja. Turun dari becak seketika angkot 121 rahayu yang berwarna merah itu menghampiri, segera kuacungkan telunjuk pertanda aku akan menaiki angkot tersebut. Hari begitu terik, membuat tubuh dibanjiri keringat yang sungguh mengganggu. Aku mengeluh.
“Oh panasnya…,”
Segera ku ambil kipas dari tas, kukipasi seluruh bagian tubuh. Tiba-tiba angkot berhenti, sepertinya ada yang akan naik lagi. Benar saja dua anak kira –kira berusia 12-an tahun. Mereka naik melewatiku karena aku duduk tepat disamping pintu masuk.
“Uh..” desauku dalam hati.
Bau, sungguh menyengat dari tubuh mereka membuatku tambah gerah. Dengan lunglai kedua anak itu mengambil posisi paling sudut di dalam angkot itu, sudut tepat berhadapan denganku. Dengan saling menyandar mereka duduk sangat tidak berdaya. Semula aku tak peduli dengan keberadaan mereka, tapi dengan keadaan mereka yang sangat memprihatinkan hatiku tergerak untuk mengamati mereka.
Yang duduk paling ujung bertubuh sangat kurus, rambut ikal pendek dengan mata yang sangat sayu seolah begitu berat beban masalah yang ditanggungnya dalam hidup ini. Satunya lagi tak jauh berbeda berkulit putih tetapi terlihat sangat kumuh karena mungkin jarang mandi, terlihat dari rambut panjangnya yang sebahu yang terlihat sangat kering karena mungkin sudah lama tak di beri shampo.
Jika dilihat dari fisiknya mereka tidaklah jelek, jika terurus dengan baik pasti mereka terlihat lebih baik. Tetapi sayang mereka sungguh tidak layak dikatakan dalam keadaan baik-baik saja karena mereka terlihat sangat kumal. Dari sorot mata mereka berdua aku coba menilik kehidupan mereka. Tatapan yang kosong seperti orang yang terkantuk-kantuk. Mereka tampak seperti tidak ada yang mengurusi. Entah dimana orang tua, entah dimana sanak saudara. Mereka seolah sebatang kara, walaupun mereka berdua tampak aura kesepian dari cara tarikan nafas mereka. Tak mampu aku membayangkan seperti apa mereka hidup, dimana rumah mereka, dimana keluarga mereka. Mereka hampa sekali. Aku terus memperhatikan mereka, tubuh kurus kering hampir seperti orang yang busung lapar. Tak mampu kubayangkan berapa hari sekali mereka makan. Aku tak yakin mereka dapat makan sekali sehari karena dari pengalamanku makan sekali sehari saja susah membuat tubuhku terlihat kurus. Konon lagi badan sekurus itu. Lemah tak berdaya. Mengamati mereka seolah ada yang ingin aku lakukan tetapi pada saat itu aku tidak tahu harus berbuat apa.
Tibalah aku di kampus tercinta Unimed, kutelusuri jalan menuju Fakultas Bahasa dan Seni dan lebih tepatnya lagi Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia gedung C lantai 2. Tak seberapa jauh dari pemberhentian angkot tadi. Jam 12 teng, aku dan teman-teman yang lain telah siap di kelas menunggu kehadiran pak Aulia Andri dosen mata kuliah Penyuntingan Naskah. Tak lama kami menunggu, datanglah beliau. Dibukanyalah kuliah hari itu dengan menyapa kami semua.
“Assalamualaikum, Selamat siang teman-teman” begitulah kira-kira katanya.
Dosen yang satu ini memang agak berbeda dengan dosen yang lainnya selain dia masih muda dia juga tampak lebih bersahabat dengan mahasiswa-mahasiswinya. Sehingga kami juga lebih nyaman dan terbuka dalam mengungkapkan pendapat dan aspirasi kami kepada beliau.
Dia pun mulai menjelaskan materi kuliah hari ini, yaitu tentang “menulis” bahwa kita harus mempunyai perencanaan dalam menulis seperti harus punya ide atau gagasan, kemudian kita dapat memulai dengan menulis kasar (drafting) dan yang terakhir kita dapat melakukan revisi, penyuntingan atau pengeditan. Aku mencoba mamperhatikan semua penjelasannya namun tak dapat kupungkiri tak dapat 100% atau bahkan 50% kuserap apa yang ia katakan karena pikiranku yang sedang bercampur aduk. Banyak hal yang sedang aku pikirkan dan yang paling menjadi prioritas adalah masalah proposal penelitianku, mengingat ini adalah semester terakhirku dan orang tua yang telah bertanya- tanya kapan tamat kuliah tidak salah kalau tugas akhir ini sangat membebaniku.
Selain aku yang kurang paham akan metodologi penelitian dan langkah-langkah apa yang harus aku lakukan untuk membuat proposal penelitian, prosedur administratif di jurusan juga sedikit membingungkan. Sehingga butuh tenaga dan pikiran yang lebih banyak dalam pengerjaan proposal ini. Hal ini yang membuat aku kurang konsentrasi belajar tidak hanya di mata kuliah ini tetapi juga dimata kuliah lainnya.
Tersentak aku tiba-tiba dari lamunanku ketika pak Aulia menunjukku, sambil berkata,
“Ada salah satu teman facebook saya di kelas ini, kamu Rahma?” tanyanya padaku.
“Oh iya..pak” jawabku agak gelagapan.
Rupa-rupanya beliau sedang menjelaskan bagaimana kita menulis di era informasi seperti sekarang ini. Dan kebetulan aku satu-satunya mahasiswi di kelas ini yang menjadi temannya di salah satu jejaring sosial, facebook, yang dapat dijadikan sebagai wadah menuangkan ide ataupun gagasan dalam bentuk tulisan.
“Kita dapat memuat tulisan-tulisan kita di blog atau yang lagi ngetrend saat ini adalah facebook”
Begitulah kira-kira penjelasannya hingga di akhir perkuliahan ia memberikan tugas kepada kami
“Kalian saya tugaskan membuat cerpen dengan tema terserah masing-masing, minimal 3 lembar di ketik 1 ½ spasi dan dikumpul dalam bentuk softcofy..”
“Waduh buat cerpen..susah kali kurasa.” Komentar seorang teman.
“Iya, jarang buat makanya agak payah juga kurasa.” Aku menimpali.
Tiba-tiba terbesit dibenakku dua anak yang kutemui di angkot tadi.
“Kenapa aku tidak buat cerpen tentang anak gelandangan saja” Gumamku sendiri.
“Ya aku akan membuat cerpen tentang anak gelandangan”. Kumantapkan sekali lagi didalam hati.
Beberapa hari berlalu, hingga suatu siang di hari senin aku beserta kelompokku mendapat giliran menempelkan karya-karya mading ”Ekspresi Ekstensi”. Dari mata kuliah Pengelolaan Majalah Dinding, dosen Pak Antilan Purba, salah satu dosen sastra yang disegani di jurusan karena karya- karya dan buku-buku yang telah ditulisnya. Berkebetulan siang itu Pak Antilan duduk di salah satu kursi di dekat mading kami. Sambil membaca Koran diperhatikannyalah kami menempelkan karya-karya pada mading tersebut. Sambil berceletuk ria siaplah pekerjaan tempel menempel itu. Aku beserta teman-temanku tidak langsung pergi, kusempatkan untuk mengobrol bersama Pak Antilan. Dari obrolan-obrolan tentang berita yang dibaca bapak itu dari Koran tiba-tiba aku berinisiatif menanyakan tentang tugas membuat cerpenku kepada bapak itu. Ku mulai pertanyaanku,
“Pak menulis itu bakat??”
“Nggak.” Jawabnya lantang.
“Menulis itu latihan,”
“Pak saya akan menulis cerpen tentang anak gelandangan”
“Cobalah lah dulu kamu ceritakan awalnya!” Beliau menyuruhku menceritakan awal dari cerpenku.
“Seperti biasa, setiap hari sabtu aku kuliah. Aku naik angkot 121 dan bla..bla..bla…”. kuceritakan bagaimana mula-mula aku menulis cerpenku. Tiba-tiba….
“Nggak eeenaaaaaaaaak……….” Salah satu temanku meneriakkan kata itu tepat di mukaku, pak Antilan tertawa lepas pertanda menyetujui perkataan temanku itu. Aku pun tertunduk malu.
“ Dalam menulis cobalah lebih merasakan dan….”. Banyak lagi nasehat pak Antilan mengenai menulis yang akhirnya aku coba pelajari.
Beberapa hari kemudian tepatnya jumat pagi aku menerima informasi dari temanku bahwa cerpen yang harusnya di kumpulkan Sabtu 30 Mei 2009 ditunda pengumpulannya pada Sabtu depan 06 Juni 2009. Pengumuman tersebut ada di papan pengumuman dekat tangga jurusan. Cepat-cepat kulihat pengumuman tersebut.
“Yang mengikuti mata kuliah penyuntingan naskah agar mengumpulkan cerpen pada tanggal 6 Mei 2009.”
Dto
Aulia Andri
Ku tarik nafasku dalam-dalam. Karena belum ku sentuh lagi draft cerpen yang telah kubuat Sabtu malam lalu karena aku sibuk menyiapkan berkas-berkas untuk mendaftar seminar proposal penelitian. Jadi masih ada waktu kira-kira satu minggu lagi untuk menyiapkan cerpen tentang anak gelandangan itu pikirku.
Sabtu, 30 mei 2009, pagi pukul 08.30 aku telah sampai di Auditorium Unimed untuk mengikuti seminar “Motivasi Guru dan Calon Guru dalam Rangka Peningkatan Kualitas Belajar Siswa”. Dari seminar ini aku mendapatkan motivasi dan semangat untuk menjadi seorang guru. Bukti aku telah mengikuti seminar ini adalah sebuah sertifikat. Dan percaya atau tidak this is my first certificate tentang pendidikan setelah hampir 4 tahun kuliah di Universitas Negeri Medan ini.
“Oh… parahnya diriku….”
Jam menunjukan pukul 11.50 ku buat pesan singkat kepada temanku yang berbunyi,
“Ze, Pak Aulia masuk?”
Agak lama dari pesan ku terkirim kira-kira pukul 12.05 terasa getaran dari dalam tas tanda ada pesan masuk di handphone ku. Segera kurogoh tasku dan mendapati satu pesan masuk
“Yan Pak Aulia dah masuk ni..”
Cepat-cepat ku ajak teman-teman ku untuk beranjak dari tempat itu, dengan terburu-buru kami segera menuju jurusan tepatnya lantai 2 ruang paling ujung. Ku ketuk pintu dan pak Aulia pun menoleh dan menganggukan kepala tanda aku beserta teman-temanku boleh masuk ke ruangan.
Segera ku ambil bangku di sebelah Zeze dan bertanya.
“Kumpul tugasnya??”
“Ya, kumpullah tugasmu!” Perintahnya.
“Belum siap” kataku.
“Bapak itu marah lho”. Katanya lagi menimpali
“O…iya? Acem dunk??” Desakku.
Ku coba untuk melihat wajah dosenku yang satu ini. Benar saja wajahnya agak sedikit masam pertanda dia kecewa karena hanya ada lima orang saja yang mengumpulkan tugas tersebut.
Mulailah dia berbicara
“Pengumuman itu bukan untuk kalian, itu untuk kelas yang satu lagi, lagian saya rasa instruksi yang saya berikan minggu lalu sudahlah cukup jelas. Mengapa kalian berasumsi cerpen kalian juga dikumpulkan minggu depan.?? Untuk apa kalian menunda-nunda pekerjaan. Target saya tugas kalian ini akan selesai saya rampungkan minggu ini dan tugas mereka untuk minggu berikutnya. Jadi dapat terjadwal dengan baik perencanaan saya. Nah kalau begini jadi kacau semua kan??” nada bicaranya mulai meninggi. Kali ini tampak kurang bersahabat tidak seperti sebelum-sebelumya.
“Wah.. bapak ini tegas juga ya?” Pekikku dalam hati.
Aku mulai ketakutan aku merasa bersalah. Karena telah mengabaikan tugas ini. Dan aku sudah pasrah kalau-kalau tidak ada lagi excuse dari bapak ini. Tapi untunglah dia masih berbaik hati.
“Okelah, terpaksa ada excuse untuk kalian. Cerpen ini dikumpulkan paling lambat hari Senin pukul tiga. Temui saya di bagian humas Biro Rektor. Siapa yang dapat mengumpulkan tugas ini?”tanyanya.
Kemudian dia melirik ke arahku,
“Kamu Rahma?”
“Oh iya pak. Saya akan kumpulkan dan antarkan pada bapak senin pukul 3 sore.” Kataku agak tergagap.
“Baiklah, masih ada yang bertanya? Kalau tidak saya tutup kuliah hari ini. Assalamualaikum, selamat siang” Dia pun berlalu pergi dari kelas.
Tibalah jantungku berdegup kencang, “Bagaimana ini??” apa aku bisa menyelasaikan cerpen dalam dua hari saja?”
Bergegas aku pulang kerumah tetapi aku harus mengambil sertifikat seminar terlebih dahulu. Ku telusuri jalan-jalan Aksara menuju Suka Rame baru jalan Bakti jalan besar di depan gang rumah ku kembali dengan angkot 121 rahayu yang warna merah itu. Sudah tidak sabar lagi rasanya ku buka laptopku agar dengan segera dapat kukerjakan cerpen itu. Karena masih banyak lagi tugas-tugas lain yang menunggu, kliping dan desain mading senin jam 12, konsep pementasan karya sastra kamis jan 4 sore, proposal sastra bandingan jumat jam 10 pagi, dan kamus untuk mata kuliah leksikografi jumat jam 4 sore. Belum lagi persiapan seminar proposal penelitian yang mungkin akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Turun dari angkot terasa perutku mulai mengisap.
“Oh…. ya tuhan aku belum makan dari tadi pagi”
Singgahlah aku ke warung minang serba lima ribu yang berada di seberang jalan.
“Ayam pop bang!” Pintaku pada abang warung tersebut.
“Berapa bungkus dek?”
“Satu aja bang.”
Kubawa kantong plastik berisi sebungkus nasi padang itu di sebelah kiri tanganku. Kemudian aku menyebrang lagi, dan kulirik beberapa becak yang sedang nagkring di simpang gang itu. Kupilih yang paling dekat denganku karena tak sempat lagi rasanya mencari-cari tukang becak langgananku. Kunaiki becak itu dengan berharap secepatnya sampai ke rumah. Sampai di rumah kuletakkan tas di atas meja belajarku, dan ku langsung ke belakang meletakkan makan siangku di atas meja makan. Setelah ganti baju ku segerakan makan agak terburu-buru tapi tetap kunikmati.
Selesai makan rasanya agak kekenyangan dan agak “eneg” karena aku sudah sedikit bosan dengan nasi warung ini. Ku dudukkan badanku sebentar sambil mengambil jeruk kiriman orang tua dari Takengon kampungku, di dalam kulkas. Kunikmati setiap ruas jeruk yang sedikit menyegarkan mulut.
“Astagfirullahaladzim….” Ucapku tiba-tiba.
Aku belum shalat dzuhur.. ku bangkit dari kursi dan segera wudhu dan kemudian shalat dzuhur. Setelah shalat aku berencana akan menyelasaikan cerpenku, nyatanya aku harus mencuci piring yang telah 2 hari tak ku cuci terlebih dahulu sehingga tertunda lagi cerpen yang harus kukerjakan. Setelah mencuci piring rasanya tubuhku sedikit lelah kurebahkan badanku di atas tempat tidur dan aku pun terlelap sampai akhirnya tersadar ketika mendengar adzan ashar. Aku tersentak “cerpen…” cetus ku agak keras. Baru dengan kesadaran penuh ku kembali wudhu dan melaksanakan shalat ashar baru setelahnya ku buka laptopku dan kubuka file cerpen.
Di ruang kamar yang cuma 3 x 3 ku coba untuk berkonsentrasi penuh. Kubaca lagi draf yang telah kutulis dan mencoba berselanjar di dunia imajinasi dengan modal fakta anak gelandangan yang pernah aku temui. Kususun lagi kerangka-kerangka cerpen yang telah aku rencanakan. Ku mulai dengan membuat skema yang telah di ajarkan Pak Aulia dengan menggunakan teori Mindel, yaitu cara untuk merangkai cerita berdasarkan karakteristik seseorang dengan hal-hal yang dekat dengan ciri-ciri orang tersebut. Beginilah kira-kira skema yang aku buat.
Kurus → putih → ikal → tidak → rapi → kotor → jarang mandi → bau → keringatan → lelah → masalah
→ hidup →tidak bahagia → miskin → kumuh → kolom jembatan → gelandangan.
Dengan skema itu kumulai membuat cerita tentang anak gelandangan dan kehidupannya, yang pertamanya di mulai dari bertemu dengan tokoh yang bernama Timay seorang perempuan berjiwa sosial tinggi yang sangat konsen terhadap masalah anak jalanan sampai ia mendirikan foundation untuk anak jalanan dengan segala konflik yang ia hadapi. Dan tidak ketinggalan juga kisah cintanya dengan sorang pria pemerhati kehidupan gelandangan juga yang bernama Yusuf yang berakhir bahagia dan sangat mengharukan.
Telah kutumpahkan semua kemampuan menulisku pada cerpen tersebut. Aku minta pendapat dari teman satu rumahku dan merevisi bagian-bagian yang kurang sesuai. Dan akhirnya tercapailah Deadline Cerpen *Hari Senin Pukul Tiga tersebut.
“Uuuh……leganya….”